Resensi Buku: Tuesday with Morrie
Mitch Albom adalah penulis yang senantiasa membuat karya-karya yang menyentuh hati pembacanya dan membuat pembaca merenung akan arti dari hidupnya, membuat kita merenung bahwa hidup ini begitu berharga dan ada orang-orang yang mungkin tanpa kita sadari ikut memberi arti pada hidup kita dan membuatnya jadi lebih bermakna.
Mitch Albom adalah seorang reporter untuk Detroit Free Press, dan pernah terpilih sebagai kolumnis olahraga no. 1 di Amerika oleh Asosiasi Editor Koran Olahraga (Associated Press Sports Editors).
Karya2nya yang terkenal antara lain ‘Bo’, ‘Fab Five’, ‘The Five People You Meet In Heaven’ (best seller di Amerika), dan ‘Tuesday with Morrie’.
Dalam ‘Tuesday with Morrie’, Mitch Albom menceritakan pribadinya ketika menemani sang dosen menghadapi “hari-hari terakhir” dalam hidupnya. Morrie Schwatrz merupakan dosen favorit Mitch. Beliau tidak hanya mengajar dengan text book, tapi juga mengajak para mahasiswanya untuk belajar dengan melihat kehidupan mereka masing-masing sehingga mereka bisa merenungkan arti hidup.
Setelah lulus kuliah, Mitch berjanji untuk selalu menghubungi Morrie, tapi karena segala kesibukannya sebagai wartawan koran olahraga, janji itu terlupakan begitu saja. ‘Hubungan’ mereka dimulai kembali, ketika secara tidak sengaja Mitch melihat acara televisi yang menayangkan kisah Morrie yang sedang ‘sekarat’. Morrie bercerita tentang sakit yang ia hadapi, tapi ia tidak takut dengan kematian. Mitch kembali tergerak untuk menghubungi sang mantan dosennya itu.
Dari sanalah awal ‘kuliah di setiap hari selasa’. Pada setiap hari Selasa, Mitch akan datang ke rumah Morrie dengan membawa berbagai macam makanan yang ia harap bisa dimakan Morrie. Pada setiap hari Selasa, mereka berbicara tentang banyak hal dalam kehidupan, seperti tentang dunia, tentang pernikahan, keuangan, bagaimana mema’afkan dan meminta ma’af, dan juga tentang kematian. Dari pertemuan setiap minggu itu, Mitch bisa melihat perkembangan (atau kemunduran) yang ialami Morrie karena sakitnya. Dalam keadaan sakit yang parah, Morrie tetap ingin bisa berbagi, ia tidak ingin sakitnya menjadikan orang kasihan dengannya dan membuatnya “terjatuh”. Morrie tetap ingin bisa berbuat sesuatu, ia ingin orang lain bisa belajar dari sikap tabahnya dalam menghadapi kematian. Ia ingin menunjukkan bahwa kematian bukanlah suatu hal yang harus ditakuti.
Sampai pada akhirnya, kematian itu memang datang menjemput Morrie.
Bagian yang paling ‘menyentuh’ dari buku ini adalah ketika Morrie mengundang para sahabat dan orang-orang terdekatnya untuk membacakan kata-kata perpisahan. Hal ini benar-benar menunjukkan kesiapan seorang Morrie dalam menghadapi kematian, seolah ingin mempersilahkan orang-orang terdekatnya akan datangnya hari itu.
Buku ini memang tergolong ‘tidak tebal’, bahasanya enak, mudah dicerna. Mungkin pada awalnya akan terkesan membosankan, tapi setelah dibaca lebih lanjut, banyak pelajaran yang bisa kita ambil. Hal-hal yang mungkin tidak terlalu kita perhatikan ternyata bisa jadi menjadi hal penting dalam hidup kita.
fps.04.12.22
Mitch Albom adalah seorang reporter untuk Detroit Free Press, dan pernah terpilih sebagai kolumnis olahraga no. 1 di Amerika oleh Asosiasi Editor Koran Olahraga (Associated Press Sports Editors).
Karya2nya yang terkenal antara lain ‘Bo’, ‘Fab Five’, ‘The Five People You Meet In Heaven’ (best seller di Amerika), dan ‘Tuesday with Morrie’.
Dalam ‘Tuesday with Morrie’, Mitch Albom menceritakan pribadinya ketika menemani sang dosen menghadapi “hari-hari terakhir” dalam hidupnya. Morrie Schwatrz merupakan dosen favorit Mitch. Beliau tidak hanya mengajar dengan text book, tapi juga mengajak para mahasiswanya untuk belajar dengan melihat kehidupan mereka masing-masing sehingga mereka bisa merenungkan arti hidup.
Setelah lulus kuliah, Mitch berjanji untuk selalu menghubungi Morrie, tapi karena segala kesibukannya sebagai wartawan koran olahraga, janji itu terlupakan begitu saja. ‘Hubungan’ mereka dimulai kembali, ketika secara tidak sengaja Mitch melihat acara televisi yang menayangkan kisah Morrie yang sedang ‘sekarat’. Morrie bercerita tentang sakit yang ia hadapi, tapi ia tidak takut dengan kematian. Mitch kembali tergerak untuk menghubungi sang mantan dosennya itu.
Dari sanalah awal ‘kuliah di setiap hari selasa’. Pada setiap hari Selasa, Mitch akan datang ke rumah Morrie dengan membawa berbagai macam makanan yang ia harap bisa dimakan Morrie. Pada setiap hari Selasa, mereka berbicara tentang banyak hal dalam kehidupan, seperti tentang dunia, tentang pernikahan, keuangan, bagaimana mema’afkan dan meminta ma’af, dan juga tentang kematian. Dari pertemuan setiap minggu itu, Mitch bisa melihat perkembangan (atau kemunduran) yang ialami Morrie karena sakitnya. Dalam keadaan sakit yang parah, Morrie tetap ingin bisa berbagi, ia tidak ingin sakitnya menjadikan orang kasihan dengannya dan membuatnya “terjatuh”. Morrie tetap ingin bisa berbuat sesuatu, ia ingin orang lain bisa belajar dari sikap tabahnya dalam menghadapi kematian. Ia ingin menunjukkan bahwa kematian bukanlah suatu hal yang harus ditakuti.
Sampai pada akhirnya, kematian itu memang datang menjemput Morrie.
Bagian yang paling ‘menyentuh’ dari buku ini adalah ketika Morrie mengundang para sahabat dan orang-orang terdekatnya untuk membacakan kata-kata perpisahan. Hal ini benar-benar menunjukkan kesiapan seorang Morrie dalam menghadapi kematian, seolah ingin mempersilahkan orang-orang terdekatnya akan datangnya hari itu.
Buku ini memang tergolong ‘tidak tebal’, bahasanya enak, mudah dicerna. Mungkin pada awalnya akan terkesan membosankan, tapi setelah dibaca lebih lanjut, banyak pelajaran yang bisa kita ambil. Hal-hal yang mungkin tidak terlalu kita perhatikan ternyata bisa jadi menjadi hal penting dalam hidup kita.
fps.04.12.22
--------------------oOo--------------------
0 Comments:
Post a Comment
<< Home