Indiana Chronicles: Blues
Clara Ng
312 hal
GPU (Cet. 2, Februari 2005)
Indiana Chronicles: Blues, merupakan buku kedua dari Clara Ng setelah ‘Tujuh Musim Setahun.’ Buku ini di’promosikan’ sebagai salah satu ChickLit Indonesia. Indiana Chronicles ini nantinya akan berupa suatu trilogy, dan Blues adalah bagian pertama dari trilogy itu.
Tokoh utama di buku ini adalah seorang perempuan bernama Indiana Lesmana. Seorang wanita muda yang mandiri, tapi penuh dengan masalah. Hari-hari yang dilalui selalu dirasa buruk oleh Indiana. Misalnya, rapat yang membosankan, mobil bernama Wang yang mogok, karir yang jalan di tempat, boss yang rada menyebalkan. Bahkan kehidupan percintaannya pun belum memberikan suatu kepuasan atau kebahagian sendiri bagi Indiana. Mungkin inilah gambaran dari sebagian perempuan metropolitan.
Punya kekasih yang tampan dan kaya ternyata tidak cukup bagi Indiana, bukan karena Indiana tergolong ‘cewek matre’, tapi karena Francis terlalu mengatur dan memaksa. Meskipun termasuk tipe pria romantis, Francis terlalu ‘tegas’ bagi Indiana, tidak pernah dia bertanya apa keinginan Indiana, selalu semua sudah ditetapkan oleh Francis. Ketika Francis melamarnya, Indiana bahagia, tapi dia harus berhadapan dulu dengan calon mertua yang ternyata suka mengatur dan ikut campur dalam urusan pribadi anaknya.
Sampai suatu ketika, Indiana ditugaskan ke Pontianak dan pesawat yang ditumpanginya mengalami kecelakaan. Pesawat itu jatuh di hutan di belantara Kalimantan. Sempet hampir terjebak, karena aku pikir Indiana Chronicles ini akan menceritakan tentang petualangan Indiana di hutan Kalimantan, tapi ternyata aku ‘tertipu’. Di sini Indiana bertemu dengan Charles, salah satu penumpang pesawat itu juga. Charles adalah pimpinan perusahaan besar di Jakarta. Mereka berdua membantu para korban lain di pesawat itu.
Pertemuan dengan Charles malah membuahkan masalah baru bagi Indiana. Ternyata Charles adalah orang penting yang seharusnya ditemui Indiana di Pontianak. Ketika bertemu di kantor Indiana, baru Indiana tahu siapa Charles sebenarnya. Buntutnya, Charles mengundang Indiana makan malam, dan Indiana harus berbohong pada Francis demi memenuhi undangan itu.
Acara makan malam menjadi mimpi buruk lain bagi Indiana. Indiana yang ngetop mendadak karena diberitakan di berbagai media setelah kecelakaan menjadi sasaran empuk infotainment di televisi. Gosip merebak tentang hubungan Charles dan Indiana yang menjadi berita utama di berbagai televisi. Akibatnya lagi, boss Indiana marah besar, dan memecat Indiana karena sudah terlibat masalah emosi dengan kliennya. Hubungannya dengan Francis pun memburuk.
Tapi, sisi baik dari ‘ketenaran’ mendadak, Indiana ditawari mengisi kolom tentang kehidupan wanita metropolitan di sebuah majalah wanita, Metro Women.
Mungkin membaca buku ini, kita tidak melihat perbedaan mendasar dari gambaran perempuan yang digambarkan dalam chicklit terjemahan. Malah mungkin terkesan ‘meniru’, tapi mungkin inilah gambaran perempuan metropolitan dengan masalah kesehariannya.
Fps.05.03.29
--------------------oOo--------------------
Indiana Chronicles: Lipstick
Clara Ng
320, hal
GPU (Cet. 1, Januari 2005)
Masih ingat Indiana Lesmana? Kali ini, ketemu lagi dalam Indiana Chronicles episode Lipstick, bagian kedua dari trilogy Indiana Chronicles.
Indiana masih gadis yang kocak, masih kadang ceroboh, tapi banyak perubahan yang terjadi dalam kehidupannya. Saat ini sedang jomblo semenjak putus dengan Francis, sudah punya rumah kontrakan sendiri, gak tinggal di apartemen sepupunya, Sara lagi, Wang, mobil kesayangannya juga sudah dijual. Sekarang Indiana menjabat sebagai wakil redaksi di majalah Metro Women. Satu lagi yang belum berubah, Indiana masih trauma berat kalau naik pesawat. Dan yang penting lagi… Indiana sedang berusaha untuk tidak menyakiti hati orang-orang (ini ajaran Illona, sang pemimpin redaksi majalah Metro Women).
Terus, apa hubungannya sama Lipstick? Kehebohan diawali ketika secara tidak sengaja Indiana mematahkan lipstik teman sekantornya, CJ. Langsung deh muncul ramalan dari beberapa teman-temannya. Kata Poppy, Lipstik patah artinya bakal ada kejadian buruk. Terus, merembet ke analisa soal bentuk lipstik.
Di bagian kedua ini, rasanya ceritanya lebih ramai, ya ramai dengan para ‘bintang’, ramai juga dengan kehebohan Indiana. Yang lucu lagi, setting cerita sebagian besar ada di … rumah sakit! Indiana masuk rumah sakit??? Bukan … bukan .. Indi, tapi orang-orang di sekitarnya harus berurusan dengan rumah sakit, yang membuat Indi ikut terlibat di dalamnya.
Dimulai ketika Marlene, rekan kantor Indi yang masuk rumah sakit, sehingga Indi harus menjenguknya. Ketika sedang besuk, Indi bertemu dengan Onassis, seorang dokter ahli kandungan yang dijodohkan Sara dengan Indi. Lalu, ketika sedang di kafetaria, secara tidak sengaja, Indi bertemu dengan Francis yang membuatnya ‘meleleh’ seketika. Belum lagi, secara kebetulan, Indiana mengungkapkan sebuah kasus malpraktek di sebuah rumah sakit, sampai masuk TV segala.
‘Kejombloan’ Indiana membuat Sara menjodohkannya dengan Onassis, temannya dari kecil, yang PD banget merasa Indi juga suka dengan dia. Tapi, ternyata Indiana masih terbayang-bayang dengan Francis. Belum lagi, tiba-tiba muncul seorang reporter TV bernama Abi, yang sayangnya (atau untungnya, ya) sudah menikah, karena hampir saja Indi coba-coba flirting dengannya.
Trauma akibat kecelakaan pesawat masih menghantui Indiana. Kehebohan di pesawat terjadi ketika Indiana harus berangkat ke Singapura menghadiri konferensi jurnalis. Indiana panik begitu mendengar mesin pesawat dan langsung menciptakan kehebohan di pesawatnya.
Ending cerita… hmmm… boleh dibilang romantis…. Dan cerita ini penuh kejutan buat Indiana dan boleh dibilang lengkap… ada sedih, ada kocak, ada senang-senangnya, ada yang mengharukan.. dan pastinya ada romantisnya…
fps.05.04.12
--------------------oOo--------------------
Indiana Chronicles: Blues
Clara Ng
312 hal.
GPU (Cet. 2, Februari 2005)
Indiana Chronicles: Blues, merupakan buku kedua dari Clara Ng setelah ‘Tujuh Musim Setahun.’ Buku ini di’promosikan’ sebagai salah satu ChickLit Indonesia. Indiana Chronicles ini nantinya akan berupa suatu trilogy, dan Blues adalah bagian pertama dari trilogy itu.
Tokoh utama di buku ini adalah seorang perempuan bernama Indiana Lesmana. Seorang wanita muda yang mandiri, tapi penuh dengan masalah. Hari-hari yang dilalui selalu dirasa buruk oleh Indiana. Misalnya, rapat yang membosankan, mobil bernama Wang yang mogok, karir yang jalan di tempat, boss yang rada menyebalkan. Bahkan kehidupan percintaannya pun belum memberikan suatu kepuasan atau kebahagian sendiri bagi Indiana. Mungkin inilah gambaran dari sebagian perempuan metropolitan.
Punya kekasih yang tampan dan kaya ternyata tidak cukup bagi Indiana, bukan karena Indiana tergolong ‘cewek matre’, tapi karena Francis terlalu mengatur dan memaksa. Meskipun termasuk tipe pria romantis, Francis terlalu ‘tegas’ bagi Indiana, tidak pernah dia bertanya apa keinginan Indiana, selalu semua sudah ditetapkan oleh Francis. Ketika Francis melamarnya, Indiana bahagia, tapi dia harus berhadapan dulu dengan calon mertua yang ternyata suka mengatur dan ikut campur dalam urusan pribadi anaknya.
Sampai suatu ketika, Indiana ditugaskan ke Pontianak dan pesawat yang ditumpanginya mengalami kecelakaan. Pesawat itu jatuh di hutan di belantara Kalimantan. Sempet hampir terjebak, karena aku pikir Indiana Chronicles ini akan menceritakan tentang petualangan Indiana di hutan Kalimantan, tapi ternyata aku ‘tertipu’. Di sini Indiana bertemu dengan Charles, salah satu penumpang pesawat itu juga. Charles adalah pimpinan perusahaan besar di Jakarta. Mereka berdua membantu para korban lain di pesawat itu.
Pertemuan dengan Charles malah membuahkan masalah baru bagi Indiana. Ternyata Charles adalah orang penting yang seharusnya ditemui Indiana di Pontianak. Ketika bertemu di kantor Indiana, baru Indiana tahu siapa Charles sebenarnya. Buntutnya, Charles mengundang Indiana makan malam, dan Indiana harus berbohong pada Francis demi memenuhi undangan itu.
Acara makan malam menjadi mimpi buruk lain bagi Indiana. Indiana yang ngetop mendadak karena diberitakan di berbagai media setelah kecelakaan menjadi sasaran empuk infotainment di televisi. Gosip merebak tentang hubungan Charles dan Indiana yang menjadi berita utama di berbagai televisi. Akibatnya lagi, boss Indiana marah besar, dan memecat Indiana karena sudah terlibat masalah emosi dengan kliennya. Hubungannya dengan Francis pun memburuk.
Tapi, sisi baik dari ‘ketenaran’ mendadak, Indiana ditawari mengisi kolom tentang kehidupan wanita metropolitan di sebuah majalah wanita, Metro Women.
Mungkin membaca buku ini, kita tidak melihat perbedaan mendasar dari gambaran perempuan yang digambarkan dalam chicklit terjemahan. Malah mungkin terkesan ‘meniru’, tapi mungkin inilah gambaran perempuan metropolitan dengan masalah kesehariannya.
Fps.05.03.29
--------------------oOo--------------------
Resensi Buku:
Judul: Puing: Sebuah Novel Kolaborasi
Penulis: Bondan Winarno, Anna Budiastuti, Anna Hadj, Arief Hamdani, Gredika Noor Hanes, Iravan Sjafari, Priatna Ahmad Budiman, Suzana Widiastuti, Violeta Narcissus
Penyunting: Bondan Winarno
Jumlah hal.: xvi + 288
Penerbit: The BeBop Publishing (Pebruari, 2005)
Novel kolaborasi? Wah… suatu yang baru, kah? Kesembilan penulis di atas mengatakan kalau ini mungkin adalah yang pertama kalinya. Bukan kumpulan cerpen, bukan antalogi cerpen. Waktu itu aku sempat datang ke launchingnya di QB Plaza Semanggi, menurut mereka, maksud dari novel kolaborasi ini, dari tiap ‘cerita pendek’ di masing-masing bab mempunyai benang merah satu sama lain meskipun masing-masing cerita itu tetap berdiri sendiri menceritakan tiap individu yang berbeda. Tiap tokoh bisa muncul di berbagai cerita yang akhirnya menunjukkan adanya hubungan di antara mereka. Kesembilan penulis ini sebelum ini tergabung dalam milis truedee, milis untuk penikmat tulisan-tulisan Dewi Lestari ‘Supernova’, sebelum akhirnya sepakat untuk membuat buku sendiri.
‘Puing’ berbicara tentang Hidup, Mati dan Hidup Setelah Mati. Menceritakan tujuh orang yang mempunyai ketertarikan yang sama, yaitu tentang misteri kematian. Ini bukan novel horor, jadi buat yang gak suka sama cerita seram, gak perlu mengurungkan niatnya untuk membaca buku ini.
Tujuh tokoh dalam cerita ini, Azumi, seorang ilmuwan yang menyelidiki misteri kematian; Kalyana, mahasiswi yang juga seorang pecatur handal; Ditto, mahasiswa yang punya kemampuan spiritual yang lebih; Odith, pemuda yang selalu murung; Dani, sufi pecinta; Ayala, punya sahabat yang mengidap AIDS dan Delon, sutradara yang tercebur dalam suatu sekte ‘Persaudaraan Akhir Zaman. Ditambah lagi tokoh Dirga, sahabat Ayala dan Maia, sahabat Kalyana.
Mereka berkenalan di sebuah milis after_life, milis untuk mereka yang tertarik pada misteri kematian. Secara pribadi, masing-masing pernah mengalami atau bertemu dengan masalah kematian. Misalnya Azumi yang ditinggal ibunya ketika melahirkan adiknya, disusul dengan kematian adiknya itu sendiri. Lalu, Ayala yang mendampingi Dirga ketika AIDS merengut nyawa Dirga, kemudian, Delon yang membuat film tentang hari kiamat, tapi ternyata anjlok di pasaran; Ditto yang kehilangan neneknya, Dani yang kehilangan kekasihnya di saat ia tengah berselingkuh.
Mereka memandang kematian dari sisi mereka masing-masing, berusaha mencari jawabannya di milis after_life.
Cerita dibuka dengan janji untuk kopi darat di Hotel JW Marriot, tempat Azumi akan mempresentasikan makalahnya yang lagi-lagi tentang misteri kematian. Teman-teman dari milis after_life diundang secara khusus sebagai participating observers. Cerita penutup yang ditulis oleh Bondan Winarno, menggambarkan ketika pertemuan antara mereka (minus Kalyana) terjadi di hotel itu. Lalu, terjadilah peristiwa tak terduga yang justru mempertemukan mereka dengan kematian itu sendiri. Kematian yang selama ini mereka cari. Bom Marriot menjadi ‘perantara’ cerita bagi para sahabat itu untuk menyongsong kematian mereka sendiri.
Kesembilan penulis mewakili masing-masing tokoh dalam cerita ini. Hubungan para tokoh digambarkan secara baik tanpa mengesankan adanya ‘pemaksaan’. Ide ceritanya sendiri menarik, karena tokoh yang banyak, kita jadi bisa menemukan latar belakang yang berbeda. Misalnya, kalau baca kisah Azumi, kita seperti membaca science fiction, kalau baca cerita Delon, seperti nonton film yang bercerita tentang end of days atau film tentang sekte-sekte, lain lagi kalau baca cerita Dani, banyak kalimat-kalimat puitis berbau spritual, atau baca cerita Ditto, kita bisa terbayang sedang nonton ‘Dunia Lain’, karena sedikit mistis. Menarik, penuh dengan makna filosofis yang dalam.
fps. 05.03.14
--------------------oOo--------------------
05.03.13
A Short Note about Mira, my Beloved Sister
“Yahhh… ilang satu anak mama.”
Duh… sedih banget denger mama ngomong begitu semalem.
Hari ini Mira udah pindah ke Kota Wisata. Well… it was a little bit weird… Entah deh… terserah mau bilang aku terlalu melankolis, atau terlalu apa lah.. Whatever… tapi tetap aja… ada rasa sedih dan kehilangan… Mungkin selama ini, mama dan papa (dan juga semua yang di rumah) merasa tenang-tenang aja.. Kita memang selalu terbiasa berkumpul di rumah, selalu bisa ngeliat semua anggota rumah. Mama dan papa, kecuali waktu Ayuk di Surabaya dan Mira di Bandung, gak pernah pisah sama anak-anaknya. Sekarang baru terasa, gimana harus pisah. Mungkin inilah ‘hukum alam’, sekarang waktunya anak-anak Mama dan Papa untuk punya kehidupan sendiri.
Berat juga rasanya ninggalin Mira di rumah baru… kaya’nya aku sempet liat mata Mama & Mira rada berkaca-kaca. Mama nitip pesen, “Jangan cape’-cape’, hati-hati turun tangganya.”
Kadang, sebagai kakak, aku suka merasa khawatir atau takut sendiri. Protektif sih gak, ya.. Cuma dalam pemikiranku aja.. dari dulu, misalnya, waktu Mira kuliah di Bandung, aku suka mikir, “Duh, gimana ya, dia di sana… bisa jaga diri gak?” Apalagi waktu itu Mira pernah dapet tempat kost yang isinya dia sendiri ditambah yang jaga rumah. Khawatir tempat kostnya aman apa nggak. Atau waktu Maya mulai masuk kuliah, mulai pergi dan pulang kuliah sendiri naik angkutan umum, Maya yang selama ini selalu dianter jemput sekolah, selalu ke mana-mana sama Mama, aku mikir juga, bisa gak Maya naik angkot. Dan sekarang, Mira pindah rumah, Cuma berdua sama Dhanny. Kebayang aja gimana kalau siang sampai malam dia sendirian. Emang sih di Kota Wisata seharusnya aman… tapi kasian aja, ngebayangin dia sendirian seharian. Si Dhanny pergi jam ½ 6 pagi… pulang bisa jam 10 malem… Gak ada yang nemenin Mira… pembantu belum ada, tetangga kiri-kanan juga belum ada.. Entahlah.. mungkin ini Cuma kekhawatiran seorang kakak aja kali, ya…
Mira.. Mirche.. My sister… selama duapuluhlima tahun, kita selalu tinggal barengan (ya.. dikurangin 3-4 tahun selama dia kuliah di Bandung.. tapi itu pun hampir tiap minggu pulang ke Jakarta, atau kita yang ke Bandung)… tidur sekamar… pokoknya bisa ngeliat dia tiap hari…
Emang sih.. it’s not that bad… she just moved to another house… Tapi, ya itu… ada yang berkurang di rumah… ada suara-suara yang gak ada…
Duh… Mira sekarang udah punya kehidupan sendiri, bukannya dia jadi terpisah sama kita. Dia udah punya keluarga sendiri, she’s a wife, and she is a mom-to-be… Well, Insya Allah, she will give me my first nephew.
Mira… aku mungkin emang gak dekat banget dengan dia dibanding Maya, my youngest sister. Tapi, aku tetap punya pandangan sendiri tentang dia. Mira… mungkin dia akan terkenal dengan ‘judes’nya… hehehe.. emang di antara kita berempat, yang paling ‘tajam’ mulutnya ya, si Mira. Malah kita sempat kasih julukan ‘Si Nenek’. Tapi, dia juga yang paling rajin di dapur dan berberes di antara kita. Paling pinter masak, paling kreatif, paling kritis, paling berani ngomong.
Kita sekeluarga, terkadang merasa gak dekat.. tapi sesungguhnya kita bisa jadi kompak dan akan merasa kehilangan banget kalau salah satu gak ada. Emang terkadang ‘mulut’ kita suka terlampau keras atau judes, tapi kita akan tetap saling mendukung, bisa saling bercanda atau saling cela.
I miss Mira so much… but she is not going anywhere.. she just moves to another house…
--------------------oOo--------------------
Resensi Buku
Judul : The (Un)Reality Show
Penulis : Clara Ng
Jumlah hal. : 360
Penerbit : Gramedia (2005)
Imagine having these people as roommates
Ini adalah cerita tentang delapan orang biasa-biasa saja
(seperti yang disangka oleh tim kreatif televisi)
… dipilih secara acak …
(seperti yang disangka oleh produser televisi juga)
… tanpa audisi …
… untuk tinggal bersama di sebuah rumah untuk direkam,
kemudian ditonton oleh jutaan penduduk Indonesia
sebagai acara hiburan, meraup rating,
meningkatkan citra stasiun televisi, serta …
keingintahuan untuk melihat apa yang terjadi
ketika orang-orang tersebut tidak bertingkah sesuai dengan skrip cerita
dan mulai bersikap berdasarkan realitas
… as the reality did not turn out exactly
as it had been expected …
Karena pada akhirnya ini adalah …
The (Un)Reality Show
(dari cover belakang The (Un)Reality Show)
Well, itulah sekilas gambaran yang coba ditampilkan Clara Ng untuk buku terbarunya ‘The (Un)Reality Show. Cerita tentang orang-orang yang dipilih untuk tinggal dalam satu rumah selama 7 minggu. Ide cerita bisa jadi diperoleh karena maraknya berbagai macam Reality Show di semua televisi swasta. Sepintas sih, mirip dengan reality show ‘Penghuni Terakhir’ tapi minus hadiah rumah milyaran rupiah. Tadinya sempat terpikir, jangan-jangan ini cerita pembunuhan ala Agatha Christie di cerita ’10 Anak Negro’.
Cerita diawali ketika tim produksi dan kreatif Top TV yang dipimpin Indra sedang mengadakan rapat untuk mencari format acara baru yang heboh dan menggemparkan, serta orisinil. Tercetuslah ide acara The (Un)Reality Show, ide untuk mengumpulkan beberapa orang yang ‘biasa-biasa’ saja di dalam satu rumah yang dipilih secara acak, tanpa audisi. Kenapa namanya The (Un)Reality Show? Karena ini adalah suatu pertunjukan realitas yang bukan realitas. Ini adalah acara balasan dari macam-maca reality show yang sedang dilakukan oleh tv swasta, termasuk reality show yang sedang diputar di Amerika. (hal. 13-14).
Akhirnya, terpilihlah 8 orang untuk ikut dalam acara tersebut, 4 orang laki-laki (Primus, Jodi, Richard dan Feivel), dan 4 orang perempuan (Tara, Wendy, Meiying dan Azuza). Mereka dipilih secara acak, kemudian dikirimi surat yang menyatakan terpilihnya mereka untuk acara itu. Mereka tetap diberi uang saku dan jaminan pekerjaan setelah acara ini selesai.
Kedelapan orang itu mempunyai alasan keikutsertaan yang berbeda, ada yang ingin menjauhkan diri dari para penggemarnya, ada yang ingin ‘istirahat’ sebagai ibu, ada yang ingin melunasi hutang-hutangnya. Latar belakang dan karakter mereka pun yang berbeda, ada yang karena terlalu ganteng sampai dibilang ‘setengah dewa’, ada yang mantan narapidana, ada yang mengaku homoseksual, ada perempuan peramal, ada perempuan yang jago membetulkan segala perkakas.. bahkan ada anak perempuan berumur 10 tahun!
Berbagai tantangan diberikan, timbul berbagai konflik dan kejadian-kejadian tak terduga yang akhirnya memunculkan karakter asli mereka. Ditambah lagi dengan masalah-masalah yang datang dari kehidupan mereka yang sebenarnya. Perbedaan pendapat muncul, tapi juga menimbulkan keakraban di antara beberapa peserta. Di antara mereka masih ada yang tertutup dan belum bisa membaur. Belum lagi stress yang dihadapi koordinator lapangan menghadapi berbagai protes dari para peserta, kebakaran dapur bahkan adanya ancaman bom… bahkan sang direktur TopTV pun harus masuk rumah sakit karena stress… Sesekali cerita diselingi dengan kehidupan para tokoh sebelum mereka ikut acara ini.
Ketika kita sedang ‘terhanyut’ dalam cerita ini, tiba-tiba kita ‘dikejutkan’ oleh suatu fakta baru yang bisa merubah bayangan kita akan akhir dari cerita ini… seperti kata Veven Sp. Wardhana di kolom komentar, “The (Un)Reality Show pada akhirnya bisa berbias menjadi the reality of show atau the reality of (un)show atau the show of show atau the show of behind the show…” (nah.. bingung, kan?)
Sepertinya Clara Ng berhasil ‘menjebak’ pembaca untuk mengikuti alur cerita yang teratur dibumbui sedikit-sedikit kejutan, sebelum diberi kejutan yang besar..
fps.05.03.08
--------------------oOo--------------------
Dari Launching ‘Puing’
QB World Plaza Semanggi
5 Maret 2005
Hari Sabtu kemarin, aku udah niat banget pengen dateng ke acara launching buku ‘Puing’. Katanya sih, acara mulai jam 16.00 untuk umum, sementara jam 15.00 itu buat undangan. Tapi, pas datang ke sana jam 4 sore.. yahhh.. koq kaya’nya udah mulai lama banget.. dan aku yakin pasti gak ada session ke dua. Jadilah aku ‘ketinggalan kereta’ dan bingung karena gak nyambung.
Dari 9 penulis, cuma Bondan Winarno yang aku rada familiar. Itu pun karena aku ikutan milis Jalansutra dan pernah baca buku Jalansutra, jadi tau deh yang mana orangnya. Sementara yang lain, sepertinya (kaya’nya nih…) adalah nama-nama baru. Gak tau kalo mereka cukup ngetop di dunia permilisan.
Jadi nih… ‘Puing’ ini adalah ‘Sebuah Novel Kolaborasi’. Para penulisnya adalah Bondan Winarno (sekaligus sebagai penyunting), Suzana Widiastuti, Arief Hamdani, Anna Hadi, Priatna Ahmad Budiman,, Anna Budiastuti, Violeta Narcissus dan Gredika Noor Hanes. Mereka semua tergabung dalam milis truedee.
Kenapa ‘kolaborasi’? Kenapa bukan ‘kumpulan cerpen’ atau ‘antalogi cerpen’? Menurut salah satu penulis (lupa siapa… tepatnya gak tau namanya..), karena cerita-cerita ini meskipun berdiri sendiri punya benang merah satu sama lain. Tokoh di satu cerita, bisa muncul cerita lainnya. Semua tokoh di dalam cerita ini punya satu hal yang sama yang akhirnya ‘mempertemukan’ mereka, yaitu misteri kematian. Seram?? Gak, koq.. ini bukan novel horor. Mereka hanya berusaha mencari ‘apa itu kematian’ dalam berbagai sisi. Di pengantar buku ini, disebut “Puing: Sebuah Novel Kolaborasi, tentang Hidup, Mati dan Hidup sesudah Mati.”
“Puing adalah sebuah genre baru novel kolaborasi permenungan tentang kematian dariberagam perspektif penulis. Sebuah novel tentang kemanusiaan, AIDS dan pencarian makna hidup dengan gaya tutur "soft imajinatif", dan kemuraman kisah cinta. Sebuah novel "very dark love story", serta perjalanan pencarian sufi pecinta akan makna hidup dan kematian.
PUING di edit dengan sangat piawai oleh Bondan Winarno, merangkai benang merah pada tiap-tiap cerita, menisikkan jalinan 'sad end love story' dan kematian menjadi sebuah pencaharian tak kunjung selesai tentang makna ilahiah dibalik peristiwa, serta akhir yang mengejutkan.”
(dikutip dari email arief ludiantoro [ar1ef2001@yahoo.com]; Fri 3/4/05 9:42 AM; subject: PUING: ukuran cinta sejati; di milis pasarbuku)
Oh, ya, alasan kenapa aku pengen datang ke launching ini, yang pasti karena aku pengen berburu tanda tangan penulis, dan aku juga pengen tau launching buku tuh seperti apa sih.
Terus, ada yang sempet nanya, kapan sebaiknya novel ini dibaca, dan soundtrack apa yang mendukung? Katanya sih… berhubung temanya rada-rada misterius, sebaiknya dibaca malam hari.. sebelum tidur.. atau malah tengah malam sekalian… Jawaban soal soundtrack, sayangnya aku gak kedengeran.
Mungkin karena udah ketinggalan, aku jadi rada bosen. Akhirnya aku liat-liat buku di QB aja. Oh ya… untung aku masih kebagian buku ‘Puing’, karena pas aku tanya, tinggal satu-satunya yang ada di display. Nah, pas udah session book signing, baru deh aku ‘memberanikan’ diri ke tengah-tengah kerumunan. Tapi aku harus cari pinjeman bolpen dulu, karena aku lupa gak siap bawa bolpen. Karena aku gak familiar dengan para penulis (kecuali Pak Bondan), akhirnya aku ngeliat dulu mana yang lagi sibuk tanda tangan, mana yang kerumunan yang cuma haha – hihi. Hmmm… my first impression sama penulis-penulis itu… ada yang nyentrik, karena pake baju sufi (salah satu tema Puing memang ada yang berbau sufi); ada yang ramah, pas dimintain tanda tangan, malah dia bilang,”Ma kasih ya, udah minta tanda tangan.” Lho… koq kebalik?? (tapi aku lupa siapa namanya… emang harusnya tanda tangan di fotonya kali ya…). Terus.. ada yang tanda tangannya pake stemple namanya; ada juga yang rada ‘sok’, pas dimintain tanda tangan sambil ngobrol dan liat ke tempat lain.. hmmm.. berasa seleb baru kali, ya…
Yang lucunya, masa’ ada seorang panitia (mbak-mbak yang harusnya jadi penerima tamu, tapi dia malu disuruh duduk di depan), aku tanya salah seorang nama penulisnya, terus dia bilang, “Mau minta tanda tangan, ya? Sini aku yang mintain.” Kirain (harusnya) dia tau, dong yang mana si penulis itu… ehhhh… pas aku liat, dia malah tanya ke yang lain dulu… baru dia mintain tanda tangannya… Gimana, sihhhh…???
Kalau ada launching buku lagi, rasanya aku masih mau untuk coba datang lagi… Dan pengen ngikutin dari awal.. It was good… and it was a new experience
fps.05.03.08
ps: resensi Puing-nya menyusul
--------------------oOo--------------------
Judul : Kisah Desperaux (The Tale of Desperaux)
Penulis : Kate DiCamillo
Penterjemah : Diniarty Pandia
Jumlah hal. : 280
Penerbit : Gramedia (2005)
Sepertinya formula untuk membuat cerita dongeng anak masih sama dari jaman dulu sampai sekarang. Tentang ksatria yang jatuh cinta kepada seorang putri cantik, dan berusaha menyelamatkannya dari ancaman kejahatan. Tapi, kalau biasanya sang ksatria berbaju besi itu seorang pangeran tampan atau ya.. setidaknya pemuda tampan dan baik hati, dalam Kisah Desperaux, ksatria itu ‘diperankan’ oleh seekor tikus… yup… tikus kecil berwarna coklat yang sering membuat para perempuan ‘geli’….
Kisah ini dimulai dengan kelahiran seekor tikus, yang diberi nama Desperaux, yang artinya keputusasaan. Desperaux adalah seekor tikus kastil, dia keturunan tikus Perancis yang ikut dalam sebuah koper diplomat sampai akhirnya tinggal di dalam kastil Raja Philips. Sejak lahir, Desperaux sudah berbeda dari saudara-saudaranya yang lain, tubuhnya begitu kecil, sering sakit-sakitan, lebih menyukai ‘dunia luar’, dan ketika diajari untuk memakan kertas-kertas buku di perpustakaan, dia malah membacanya dan merasa sayang untuk merusak buku itu. Cerita yang kebetulan dibacanya adalah cerita tentang ksatria yang menyelamatkan seorang putri cantik.
Suatu ketika, Desperaux begitu terpesona dengan nyanyian sang raja, dengan berani dia nekat duduk di kaki sang raja. Desperaux juga langsung terpesona dengan kecantikan Putri Pea, sampai akhirnya dia berani mengatakan, “Aku jatuh cinta”. Hmmm.. bayangkan, seekor tikus jatuh cinta pada seorang putri…
Keluarga Desperaux cukup ‘gerah’ dengan tingkah laku Desperaux. Sampai-sampai, mereka akhirnya mengadakan sidang Dewan Tikus untuk menghukum Desperaux. Dan Desperaux pun dijebloskan ke bawah tanah untuk berkumpul dengan tikus-tikus got.
Bicara tentang tikus got, tokoh yang lainnya yaitu Roscuro. Dia adalah seekor tikus got yang tinggalnya di bawah tanah kastil Raja Philips. Lagi-lagi karakternya berbeda dengan tikus got pada umumnya. Jika biasanya tikus got lebih menyukai kegelapan, Roscuro suka pada cahaya. Cahaya lah yang membawanya pada petualangan baru. Ketika sedang ada pesta di kastil, Roscuro ingin melihatnya dan dia pun bergelantungan di lampu di atas meja makan. Tiba-tiba Putri Pea melihatnya dan berteriak, “Tikus got!” Roscuro pun terkejut, dan terjatuh di mangkuk sup sang Ratu. Ratu yang sedang menyantap sup kesukaannya kaget dan meninggal. Raja akhirnya menetapkan bahwa tikut got adalah musuh utama, sup sebagai makanan terlarang dan panci, sendok serta mangkuk harus disingkirkan dari kerajaan. Roscuro pun berniat untuk membalas dendam terhadap Raja & Putri Pea.
Tokoh lainnya adalah Miggery Sow. Gadis berumur 12 tahun ini dijual oleh ayahnya demi sebuah taplak meja merah dan ayam betina. Mig dijadikan pelayan di sebuah peternakan dan sering mendapatkan jeweran sebagai hukuman. Suatu ketika Mig melihat rombongan kerajaan melintas di depan pekarangannya, dan melihat Putri Pea melambaikan tangan. Langsung terbersit keinginan dalam hati Mig, “Aku ingin menjadi Putri”. Ketika pengawal kerajaan datang ke tempat tinggal Mig untuk mengambil panci, sendok dan mangkok, mereka juga membawa Mig, karena tidak boleh ada orang yang dimiliki orang lain. Di Kastil, karena kecerobohannya, akhirnya Mig dijadikan pelayan untuk membawakan makanan ke bawah tanah.
Roscuro ingin melakukan balas dendam dengan mempergunakan Mig. Roscuro berencana menculik Puteri Pea. Hilangnya Puteri Pea diketahui oleh seluruh penghuni kastil dan terdengar juga oleh Desperaux, yang segera menyelamatkan sang Puteri.
Mereka bertiga akhirnya bertemu di bawah tanah. Nah, apakah Roscuro berhasil melaksanakan niat balas dendamnya? Apakah Mig berhasil menjadi seorang Putri seperti impiannya? Dan, apakah Desperaux berhasil menjadi knight in shinning armour bagi sang Putri? Seperti dongeng-dongeng lainnya, cerita berakhir dengan bahagia.
Pada dasarnya mereka bertiga punya satu kesamaan, mereka semua punya mimpi, yang bisa menerangi mereka bagaikan cahaya. Seperti kata penulisnya, ia ingin pembacanya menemukan cahaya dari cerita yang menjadi pemenang Newberry Book 2004 ini (hal. 275)
Kisah Desperaux, dongeng masa kini dengan bentuk baru, tapi dengan latar belakang yang sama. Cukup bagus untuk dongeng sebelum tidur, apalagi ditambah dengan ilustrasi yang bagus. Tapi, ada sedikit gangguan, yaitu kata ‘Buset’ yang sering diucapkan Mig. Rasanya akan lebih enak kalau diganti dengan kata ‘Ya Ampun’ atau ‘Ya Tuhan’.
fps.05.02.21
--------------------oOo--------------------
Judul : Insiden Anjing di Tengah Malam Yang Bikin Penasaran (The Curious Incident of The Dog In The Night-Time)
Penulis : Mark Haddon
Penterjemah : Hendarto Setiadi
Jumlah hal. : 312
Penerbit : KPG (Cet. 2, Desember 2004)
Tadinya saya sama sekali tidak tertarik untuk beli buku yang meraih penghargaan Whitbread Novel Award 2003 ini. Pertama, karena judulnya yang kurang ‘asyik’, kedua karena covernya, yang wow…. silau, man! Tapi, setelah baca resensi di beberapa media, koq, kaya’nya menarik ya? Apa sih yang membuat ‘Insiden Anjing di Tengah Malam Yang Bikin Penasaran’ itu jadi sedemikian ‘heboh’? Di manakah letak hal yang bikin penasaran itu?
Di awal-awal, buku ini memang terkesan datar. Diawali ketika Christopher, anak berumur 15 tahun yang menjadi tokoh utama novel ini, menemukan anjing tetangganya yang mati tertusuk garpu tanaman. Chistopher adalah seorang anak yang menderita penyakit autis. Dia seolah hidup dalam dunianya sendiri, punya pemikiran sendiri yang mungkin kita sebagai orang ‘biasa’ menganggapnya aneh. Christopher tidak suka dengan warna coklat dan kuning, punya pola keseharian yang teratur, selalu berpikir berdasarkan logika, amat sangat cerdas dan mempunyai ingatan yang kuat. Dia suka mengamati berbagai hal yang kecil sekali pun. Dia tidak suka keramaian, tidak suka dengan orang asing. Jika dia berada di keramaian, Christopher mudah menjadi bingung dan tertekan. Christopher tinggal berdua dengan ayahnya, ibunya sudah meninggal terkena serangan jantung. Chritopher tidak pernah bepergian sendirian.
Christopher tidak mempercayai orang asing, bahkan oleh orang tuanya sendiri, dia tidak mau dipeluk. Dia hanya mau disentuh diujung-ujung jarinya saja.
Oh, ya, jangan bingung kalau buku ini langsung dimulai dari Bab 2, bukan dari Bab 1. Bab buku ini dibagi dalam bilangan prima, untuk menunjukkan kesukaan Chritopher terhadap matematika.
Christopher gemar akan cerita-cerita misteri pembunuhan dan favoritnya adalah Sherlock Holmes. Dia punya keinginan untuk membuat buku tentang misteri kematian Wellington, si anjing, dan mulailah dia mencari tahu, siapakah pembunuhnya. Dia membuat rencana di otaknya, membuat gambaran dari mana dia harus memulai penyelidikan itu. Christopher pun bertanya pada beberapa tetangga di sekeliling rumahnya. Hasil pengamatannya dicatat di dalam sebuah buku.
Penyelidikan itu dilakukan secara diam-diam, karena ayahnya berkata agar dia tidak ikut campur, tapi, Christopher tetap bertekad untuk menemukan pembunuh anjing itu. Hingga suatu hari, ayahnya menemukan buku catatan Chritopher dan menyembunyikannya. Christopher pun berusaha mencari tempat ayahnya menyembunyikan buku itu. Dan, ketika dia berhasil menemukan kembali bukunya, dia pun menemukan hal lain yang membuatnya sangat terkejut dan membawanya mengetahui berbagai kejutan lain, yaitu terungkapnya siapa pembunuh Wellington sebenarnya.
Rasa takut memaksanya untuk kabur dari rumah, dan mulailah petualangan besar bagi Chritopher. Di sini ketegangan dimulai. Christopher pergi ke London… sendirian… suatu hal yang tidak pernah dilakukannya. Meskipun rasa takut semakin besar, tapi dia bertekad untuk ‘menyelesaikan’ perjalanannya.
Di dalam buku ini, sesekali diselingi dengan ‘pelajaran’ matematika. Christopher sendiri diceritakan sedang belajar keras untuk mengikuti Ujian Matematika Tingkat Tinggi. Ada juga berbagai gambar, entah itu peta, gambar binatang, berbagai tulisan, yang semuanya adalah perwujudan apa yang ada di otak Christopher.
Membaca buku ini, kita diajak untuk menyelami pemikiran seorang anak penderita autis, yang terkadang berbeda, tapi justru malah membuat kita merasa jadi ‘bodoh’. Terkadang banyak hal kecil yang terlewat atau bagi kita tidak penting, tapi justru berhasil ditangkap oleh Christopher dan menjadi ‘kekuatan’ bagi dirinya. Hal-hal kecil itulah yang membantunya dalam menempuh perjalanan ke London. Ada yang bisa membuat kita tersenyum kecil, tapi ada juga rasa kasihan membaca ‘perjuangan Christopher.
fps.05.02.14
--------------------oOo--------------------
1. Da Vinci Code (Dan Brown)
Doubleday, 2003
Hampir di semua daftar best seller, buku ini selalu jadi no. 1. Komentar orang banyak, “Full of controversy”. Cerita tentang Robert Langdon yang terjebak petualangan untuk memecahkan symbol sejarah yang menjadi rahasia selama berabad-abad. Banyak sejarah tentang gereja dan agama Kristen di buku ini. Yang aku suka dari buku ini, banyak teka-teki, emang sih, endingnya tetap khas Holldywood, tapi menegangkan, dan gak ketebak endingnya gimana. Karena buku ini, aku juga jadi penasaran sama Angels & Demons, pengen tau, petualangan Robert Langdon sebelumnya.
2. The Five People You Meet in Heaven (Mitch Albom)
Hyperion, 2003
Buku ini bercerita tentang seorang mekanik di taman hiburan, namanya Ed, yang meninggal karena kecelakaan menyelamatkan seorang anak kecil di taman itu. Dalam perjalanannya ke surga, dia bertemu dengan lima orang yang punya hubungan dengan dia secara langsung atau pun nggak. Satu pertanyaan yang tersisa di kepala setelah baca buku ini, “Kalau aku mati, aku ketemu siapa ya?” Gara-gara buku ini, aku juga jadi mengingat-ingat gimana perlakuanku, apa hubunganku dengan orang-orang di sekitarku. Gak tau ya, buku ini buat aku bagus banget… so touchy…
3. Tuesday with Morrie (Mitch Albom)
Time Warner, 1997
Gara-gara baca ‘The Five People You Meet in Heaven’, jadi ikutan penasaran sama buku ini. Ternyata sama bagusnya, sama menyentuhnya. Bercerita tentang dosennya Mitch sendiri, Morrie, yang terkena penyakit parah. Dan hebatnya meskipun Morrie sendiri juga tahu kalau hidupnya gak lama lagi, dia tetap semangat dan optimis, dan gak putus asa dengan kondisinya. Malah, dia mau berbagi dan meyakinkan, kalo kematian itu bukan sesuatu yang harus ditakuti. Bisa jadi buku ini memberi semangat buat kita-kita.
4. Cintapuccino (Icha Rachmanti)
Gagas Media, 2004
Hihihi… buku yang katanya ‘Chicklit Asli Buatan Indonesia’ ini.. bener-bener mirip sama aku… Jadi inget gimana aku pernah terobsesi dengan seseorang… gimana noraknya aku jaman dulu… Cerita tentang … yang suka banget sama cowok bernama ‘Nimo’…
5. Bukan Pasarmalam (Pramoedya Ananta Toer)
Lentera Dipantara, 2004
Aku emang suka baca buku PAT, tapi ya on-off gitu.. Kadang kalo lagi pengen, aku bakal cari buku beliau.. beli sekali dua.. titip ke teman… tapi kalo lagi bosen.. ya… udah ditinggal gitu aja.. ‘Bukan pasarmalam’ ini ceritanya tentang seorang pegawai yang pulang kampung karena bapaknya sakit, di kampungnya dia teringat gimana dia dulu.. gimana penderitaannya… Kata-katanya bagus.
6. Negeri Senja (Seno Gumira Ajidarma)
KPG, 2003
Sebenarnya gambaran ‘Negeri Senja’ ini aneh banget, tentang negeri yang dalam keadaan senja terus… pemimpinnya seorang perempuan yang … hmmm.. boleh dibilang tangan besi.. ‘sakti’.. dan berkuasa banget.. sebenarnya sih, kalo ini cerita romantis, gambaran negeri yang senja terus itu, bakal jadi romantis banget… Buku ini menginspirasi aku untuk mulai nulis-nulis. Bahasa di buku ini juga indah banget.
7. Emak (Daoed Joesoef)
Aksara Karunia, 2003
Buku ini dapetnya susah… aku langsung penasaran pengen baca versi panjangnya setelah baca nukilan buku ini di majalah Readers’ Digest. Biasanya aku gak terlalu suka sama memoar atau kisah nyata seseorang, suka ngebosenin. Tapi, begitu aku baca ‘Emak’… enak aja tulisannya. Cerita Daoed Joesoef akan kenangannya terhadap Emaknya, kehidupan di kampungnya, gambaran keluarga yang harmonis banget. Mengalir, ada lucunya… yang pasti… I appreciate my mom more.
8. Shopacholic Ties The Knot (Si Gila Belanja Akhirnya Kawin Juga) (Sophie Kinsella)
Gramedia, 2004
Aku suka banget baca ChickLit series, tapi aku paling suka kalo udah nyeritain si Becky Bloomwood ini yang doyan banget belanja.. menurut Becky, belanja itu adalah investasi,lho.. Sosok Becky ini bisa sekalian ngingetin biar gak kalap kalo belanja… apalagi kalo pake kartu kredit...
9. Perjalanan Mata dan Hati (Prima Rusdi)
Terrant Books, 2004
Isi buku ini tuh, kumpulan tulisan dari majalah CosmoGirl. Tujuannya sih untuk para ABG, tapi ternyata masih ada juga tuh yang ‘nyangkut’ untuk orang seusia aku. Bahasanya enak, topiknya juga gak berat-berat banget, solusinya juga simple dan ilustrasinya juga keren.
10. Bisik – Bisik (Reda Gaudiamo)
EKI, 2004
Satu lagi buku yang membuat aku merasa, “koq aku banget ya?” Buku yang isinya unik, terdiri dari beberapa cerpen, isinya tuh percakapan.. kebanyakan menggambarkan cewek yang biasanya suka plin-plan, gak pd-an. Lucu & unik… lumayan menyegarkan.
--------------------oOo--------------------
Judul : Supernova (2.2) Episode: Petir
Penulis : Dewi Lestari
Jumlah hal. : 203
Penerbit : AKUR (2004)
Supernova - Episode: Petir ini menampilkan sesuatu yang berbeda dari dua buku Supernova sebelumnya. Jika di Supernova terdahulu, terkesan ‘serius’, misalnya, pada Putri, Ksatria dan Bintang Jatuh diisi dengan berbagai teori-teori sains, lalu di Akar dengan filsafat-nya Bodhi, di Petir, Dee menulis dengan sedikit ‘santai’, lebih ‘membumi’. Banyak humor-humor atau kata-kata yang tidak membuat kening berkerut.
Benang merah dengan buku-buku yang terdahulu ditunjukkan munculnya tokoh pasangan Ruben dan Dimas, sedikit email dari Gio di bagian pengantar. Di bagian akhir, ada tokoh Bong yang dulu muncul di buku Akar. Tapi, hubungan pasti antara mereka belum tergambar dengan jelas.
Kali ini, Supernova menceritakan tentang Elektra, gadis yang memiliki keunikan, karena senang menonton petir sejak masih kecil karena ia pernah tersambar petir. Ia tinggal bersama ayahnya, pemilik Wijaya Elektronik dan kakaknya, Watti. Setelah ayahnya meninggal, Elektra tinggal sendiri di rumah besar mereka yang bernama ‘Eleanor’. Sementara Watti harus ikut bersama suaminya ke Tembagapura, Papua. Elektra harus mengurus rumah ‘kosong’ itu.. membersihkannya.. sampai mengurus keuangan Wijaya Elektronik yang ternyata punya banyak piutang tak tertagih.
Di antara ‘sedikit’ rasa putus asa, Elektra tiba-tiba mendapat tawaran menjadi asisten dosen di STIGNA (Sekolah Tinggi Ilmu Gaib Nasional), yang membawanya bertemu dengan Ibu Sati, ketika sedang mencari perlengkapan untuk melamar ke STIGNA. Kekonyolan terjadi ketika Elektra mencari kuburan untuk meletakkan ‘surat lamaran’ dan berbagai perlengkapannya. Karena gagal meletakkan di kuburan manusia, Elektra malah menaruhnya di kuburan kucingnya, Kambing, yang terletak di rumah Omnya. Buntutnya, baru ketahuan kalau surat dari STIGNA hanyalah surat iseng. Dan Elektra harus menahan malu karena ketahuan Tantenya kalau ia percaya dengan urusan ‘gaib’ dan ‘mistis’.
Tapi, perkenalannya dengan Ibu Sati tidak berhenti begitu saja. Ibu Sati, pemilik toko rempah-rempah dan barang-barang ‘mistis’ (Jadi ingat buku ‘The Mistress of Spices (Penguasa Rempah-Rempah) - Chitra Banarjee Divakaruni). Ibu Sati menemukan adanya ‘keunikan’ dalam diri Elektra yang bisa dikembangkan dan diarahkan agar bisa dipergunakan dengan lebih baik.
Ketika sedang menelpon Watti di wartel, Elektra bertemu teman lamanya, Beatrice, yang ternyata pemilik wartel yang merangkap warnet itu. Elektra diajarkan cara membuat email account, lalu gimana caranya browsing sampai chatting. Hasilnya, Elektra sempat kecanduan chatting. Lama-lama Elektra memutuskan untuk membuka warnet juga. Atas bantuan Kewoy, Elektra bertemu dengan Mpret. Akhirnya mereka bekerja sama membuat warnet lengkap dengan sarana bermain play station dan juga tukang nasi goreng.
Ketika secara tidak sengaja Elektra menyetrum teman-temannya, terkejutlah mereka. Dan dengan iseng, Kewoy minta dipijat.. dan malah membawa teman-teman. Maka, warnet itu pun ‘mengembangkan’ usahanya jadi tempat pengobatan alternatif dengan aliran listrik yang dimilikinya. Elektra sempat jatuh sakit karena terlalu memforsir tenaganya. Ibu Sati lah yang membantu Elektra untuk terus mengatur kekuatannya. Belakangan, baru diketahui kalau Elektra juga bisa membaca pikiran seseorang. Pertama kali hal ini disadarinya, ketika Kewoy dengan isengnya minta rambutnya ‘dijigrakin’.
Ada unsur romantismenya juga. Mpret yang cuek bebek dan terkesan sebal dengan adanya praktek pengobatan alternatif Elektra, ternyata diam-diam menaruh hati pada Elektra. Kecuekannya itu dan juga ketidaksetujuan atas praktek alternatif itu tujuannya supaya Elektra tidak terlalu lelah. Elektra mengetahui perasaan Mpret, pada pesta perayaan ulang tahun Mpret, Kewoy meminta Elektra untuk menunjukkan kebolehannya ‘menjigrakkan’ rambut. Otomatis Elektra harus memegang kepala Mpret.. dan.. tiba-tiba Elektra pingsan…
Menjelang akhir cerita… datanglah Bong (teman Bodhi, di Episode: Akar), yang ternyata adalah sepupu Mpret. Mereka bertemu kembali di ‘Friendster’. Ternyata di masa lalu, Bong dan Mpret punya hubungan yang erat dan mendalam.
Akhir cerita yang ‘menggantung’ dan membingungkan kembali menjadi pilihan Dee. Biar pembaca penasaran.. dan tetap menanti lanjutan Supernova berikutnya. Tapi, membaca ‘Petir’, kita perlu bingung dengan berbagai Teori Kuantum, atau tidak perlu berfilosofi. ‘Petir’ lebih dekat dengan keseharian kita. Tokoh-tokohnya terasa lebih nyata, seolah, they are just the guys next door, bukan tokoh yang aneh-aneh. Tokoh Elektra, yang (sebetulnya) cerdas tapi polos; Ibu Sati yang bijaksana; Watti, yang (ingin) modern; Kewoy yang konyol; dan Mpret, yang cool.
fps.05.01.20
--------------------oOo--------------------
Judul : The Five People You Meet in Heaven
Penulis : Mitch Albom
Jumlah hal. : 196
Penerbit : Hyperion New York (2003)
‘The Five People You Meet in Heaven’ menjadi best seller di berbagai negara. Cerita yang sederhana, tapi menyentuh.
Bercerita tentang Ed, seorang mekanik di taman bermain, yang meninggal karena menyelamatkan seorang anak kecil yang hampir tertimpa kereta bermain. Tragisnya, Ed meninggal di hari ulang tahunnya yang ke-83.
Ketika ‘sampai’ di surga, secara bergantian Ed bertemu dengan orang-orang yang secara langsung atau tidak mempunyai hubungan dengan Ed. Satu per satu mereka bercerita apa hubungan mereka dengan Ed.
Di sela-sela cerita perjalanan Ed di surga, disisipkan cerita sejak Ed lahir dan setiap hari perayaan ulang tahunnya. Kita diajak untuk melompat-lompat dari masa lalu, ke masa sekarang.. balik lagi ke masa lalu… Selain itu, ada juga percakapan teman-teman Ed setelah ia meninggal.
Buku ini mengajak kita merenung. Mengamati, merasakan kehadiran orang-orang di sekitar kita… apa peranan mereka, atau bahkan apa peranan kita terhadap mereka. Dan… satu pertanyaan yang pasti terlintas bagi yang sudah baca buku ini, “Siapa ya, yang akan aku temui kalau aku meninggal nanti?”
fps.05.01.25
--------------------oOo--------------------
Judul : ei tu zé: Bukan Impian Biasa
Penulis : Danni Junus
Jumlah hal. : xii + 348
Penerbit : Gagas Media (Cet. 1, Desember 2004)
Setting cerita berada di Bandung dan sedikit di Jakarta. Berkisah tentang impian dan kehidupan cinta Dharma. Tadinya, sempet mikir kalau Dharma ini adalah seorang cowok… tapi ternyata.. perempuan tulen… tapi emang sih, rada tomboy, cuek banget, terkenal sebagai ‘Miss Jutek’. Kalau nyela.. hmmm.. bisa-bisa orang tersinggung seandainya ‘gak kenal baik dengan Dharma.
Dharma, mahasiswi jurusan ilmu komputer di sebuah universitas di Bandung, scriptwriter di radio Belle, baru aja putus sama pacarnya yang posesif, dan sedang dalam pencarian pacar baru ketika dia dikenalkan dengan Atari, MD di radio Male. Pertama dikenalin, Dharma langsung menyambungkan nama Atari dengan game yang ngetop di tahun ‘80an itu. Beberapa kali ketemu, gak langsung membuat Dharma ingat dan terbayang-bayang sama Atari. Malah Dharma gak pernah ingat sama tampangnya Atari.
Baru di pertemuan yang kesekian, Dharma memberanikan diri untuk ngobrol langsung. Dan ternyata mereka berdua langsung akrab Setelah sekitar satu setengah bulan, mereka akhirnya ‘jadian’. Pas di hari ulang tahun Dharma, mantan pacar Dharma, Rivan, muncul lagi untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Ada kecemburuan dalam diri Rivan, yang seolah gak rela Dharma udah mendapatkan penggantinya.
Oh ya, ngomong-ngomong soal mimpi, selain punya pasangan yang serba sempurna, Dharma pengen banget bisa belajar fashion journalist di London, dan impian itu hampir terwujud ketika Rivan memberikan ‘beasiswa’ untuk belajar di London College of Fashion. Tapi ternyata, ada tujuan lain dibalik tawaran Rivan, tapi Dharma tetap saja senang ketika menerima tawaran itu, tapi tidak dengan Atari, yang gengsinya ‘terganggu’. Hubungan mereka diuji untuk pertama kalinya… apakah Dharma tetap pergi tapi dengan resiko Atari akan kecewa, ataukah Dharma memilih Atari, tapi melepaskan impiannya?
‘Ujian’ kedua .. lagi-lagi karena gengsi… di usia yang sudah 25 tahun, Dharma mulai memikirkan masalah pernikahan, tapi Atari masih bersikeras untuk menabung dulu. Ketika Dharma diterima bekerja di majalah Eclectic, untuk kedua kalinya Dharma mendapat tawaran belajar di LCF. Nah, apakah kali ini Dharma akan mengalah lagi demi cintanya pada Atari?
Dialog di buku ini terbilang cukup lancar, meski kadang ada bagian yang membingungkan, apakah yang sedang bicara ini Dharma atau Atari. Lalu, bagian dialog sms juga asyik. Dan, hmmm… kalau buat aku, ketika membaca percakapan antara Dharma dan Atari, meskipun terkesan santai, tapi bisa dirasakan gimana sayangnya Atari sama Dharma, gimana manjanya Dharma ke Atari meskipun Dharma itu cewek yang cuek banget.
Satu hal yang bisa diambil dari buku ini, terkadang untuk mewujudkan mimpi, kita harus mengorbankan mimpi kita yang lain atau menunda untuk mewujudkan mimpi yang lain itu. Gak semuanya kan bisa kita dapat sekaligus….
Biarkan diriku mengejar mimpi-mimpiku yang lain dulu. Sampai mimpiku yang terbaik menghampiriku, tanpa harus dikejar. (hal. 345)
fps.05.02.11
--------------------oOo--------------------
Resensi Buku:
Judul : Koq Putusin Gue?
Penulis : Ninit Yunita
Jumlah hal. : 250
Penerbit : Gagas Media (Cet. 4, Januari 2005)
Pertama-tama… cuma mau bilang, “Luar Biasa!”, hanya dalam waktu 3 bulan udah memasuki cetakan ke 4.
Kedua… hmmm… Watch out, Boys… kalau kamu mau mutusin cewek.. Hati-hati… siapa tahu cewek yang kamu putusin itu seperti Maya.. tokoh utama dalam cerita ini.
Kalau baca cerita ini diawal, pastinya bakal kebayang suatu cerita yang romantis. Cewek yang cantik pacaran sama cowok ganteng. Standard banget gak sih…. Tapi ternyata… gak seindah itu…
Cerita diawali dengan persiapan Maya, si tokoh utama, untuk merayakan setahun pacarannya dengan Hari. Baju yang anggun, dandanan yang cantik, hal yang jarang sekali dilakukan Maya. Tapi, demi rasa sayangnya sama Hari, Maya rela melakukan itu. Semua berjalan dengan mulus, mulai dari Hari yang menjemputnya ke rumah dengan membawa satu buket bunga mawar, sampai makan malam di restoran yang romantis, membuat Maya sempat melayang. Tapi.. malam yang romantis itu di’kacau’kan Hari dengan permintaan yang tidak seharusnya ada.. permintaan putus dari Hari.
Duh… semua orang kalau diputusin begitu pasti merasa dunia seolah berhenti berputar. Males mau ngapa-ngapain… Maunya sedih dan mengenang saat-saat ini bersama sang mantan pacar. Itu juga sih yang dirasakan Maya pada awalnya, bahkan dia sempet mau minta balik sama Hari… tapi another surprise datang lagi… Maya harus melihat Hari bersama perempuan lain.. Hmm.. berarti… selama ini Maya dibohongin dong… berarti kata-kata “Aku pengen… kita temenan aja” (hal. 9 ) cuma untuk menutupi perselingkuhannya…
‘Berpedoman’ pada buku Art of War – Sun Tzu, Maya mulai menyusun strategi untuk membalas sakit hatinya sama Hari. Berbagai perbuatan konyol pun dilancarkan demi membuat Hari menyesali perbuatannya. Sahabatnya, Rini, yang akhirnya menyadarkan Maya bahwa semua ‘pembalasan’ itu harus diakhiri.
Buku ini enak dibaca, karena meskipun Maya diceritakan begitu sedih, sakit hati atas perbuatan Hari, tidak menjadikan buku ini cengeng dan penuh air mata serta keluh kesah. Strategi Maya, tips-tips mengatasi patah hati, resep tiramisu.. bahkan radio Merana FM, radio khusus untuk orang-orang yang bersedih, bisa membuat kita tersenyum-senyum atau bahkan ketawa-ketawa. Berhasil bikin penasaran sampai akhir.. Ninit berhasil menunjukkan, biar kita, cewek-cewek gak gampang ‘dikadalin’ (istilahnya Maya, nih)… Pokoknya… buku ini Girl Power banget ,deh.. so.. hati-hatilah buat para cowok…
fps.05.02.07
--------------------oOo--------------------
Apakah hati ini benar ingin bertahan?
Apakah hati ini benar rela melepaskannya?
Apakah hati ini benar mencintainya?
Apakah hati ini benar membencinya?
Apakah hati ini benar ingin bersamanya?Apakah hati ini benar ingin meninggalkanya?
Di hati ini, ada berjuta rasa untukmu
Rasa cinta bercampur benci
Rasa sayang bercampur dendam
Rasa rindu bercampur geram
Sebagian diri ini, ingin selalu bersama
Meniti hari mewujudkan mimpi
Membuat cinta kita jadi nyata
Tapi, sebagian diri ini ingin lepas darimu
Melepas semua ketakutan dan kelelahan di hati
Menghapus semua ketidakpastian
Tapi…
Rasanya masih banyak yang ingin aku bagi bersamamu
Aku ingin kita bisa membuat mimpi kita jadi nyata
Tapi…
Mengapa seolah jalan menuju ke sana begitu sulit
Mengapa begitu banyak halangan yang menghadang
Satu yang aku yakini…
Kekuatan cinta membuatku bertahan…
fps. 04.12.21
--------------------oOo--------------------
Mitch Albom adalah penulis yang senantiasa membuat karya-karya yang menyentuh hati pembacanya dan membuat pembaca merenung akan arti dari hidupnya, membuat kita merenung bahwa hidup ini begitu berharga dan ada orang-orang yang mungkin tanpa kita sadari ikut memberi arti pada hidup kita dan membuatnya jadi lebih bermakna.
Mitch Albom adalah seorang reporter untuk Detroit Free Press, dan pernah terpilih sebagai kolumnis olahraga no. 1 di Amerika oleh Asosiasi Editor Koran Olahraga (Associated Press Sports Editors).
Karya2nya yang terkenal antara lain ‘Bo’, ‘Fab Five’, ‘The Five People You Meet In Heaven’ (best seller di Amerika), dan ‘Tuesday with Morrie’.
Dalam ‘Tuesday with Morrie’, Mitch Albom menceritakan pribadinya ketika menemani sang dosen menghadapi “hari-hari terakhir” dalam hidupnya. Morrie Schwatrz merupakan dosen favorit Mitch. Beliau tidak hanya mengajar dengan text book, tapi juga mengajak para mahasiswanya untuk belajar dengan melihat kehidupan mereka masing-masing sehingga mereka bisa merenungkan arti hidup.
Setelah lulus kuliah, Mitch berjanji untuk selalu menghubungi Morrie, tapi karena segala kesibukannya sebagai wartawan koran olahraga, janji itu terlupakan begitu saja. ‘Hubungan’ mereka dimulai kembali, ketika secara tidak sengaja Mitch melihat acara televisi yang menayangkan kisah Morrie yang sedang ‘sekarat’. Morrie bercerita tentang sakit yang ia hadapi, tapi ia tidak takut dengan kematian. Mitch kembali tergerak untuk menghubungi sang mantan dosennya itu.
Dari sanalah awal ‘kuliah di setiap hari selasa’. Pada setiap hari Selasa, Mitch akan datang ke rumah Morrie dengan membawa berbagai macam makanan yang ia harap bisa dimakan Morrie. Pada setiap hari Selasa, mereka berbicara tentang banyak hal dalam kehidupan, seperti tentang dunia, tentang pernikahan, keuangan, bagaimana mema’afkan dan meminta ma’af, dan juga tentang kematian. Dari pertemuan setiap minggu itu, Mitch bisa melihat perkembangan (atau kemunduran) yang ialami Morrie karena sakitnya. Dalam keadaan sakit yang parah, Morrie tetap ingin bisa berbagi, ia tidak ingin sakitnya menjadikan orang kasihan dengannya dan membuatnya “terjatuh”. Morrie tetap ingin bisa berbuat sesuatu, ia ingin orang lain bisa belajar dari sikap tabahnya dalam menghadapi kematian. Ia ingin menunjukkan bahwa kematian bukanlah suatu hal yang harus ditakuti.
Sampai pada akhirnya, kematian itu memang datang menjemput Morrie.
Bagian yang paling ‘menyentuh’ dari buku ini adalah ketika Morrie mengundang para sahabat dan orang-orang terdekatnya untuk membacakan kata-kata perpisahan. Hal ini benar-benar menunjukkan kesiapan seorang Morrie dalam menghadapi kematian, seolah ingin mempersilahkan orang-orang terdekatnya akan datangnya hari itu.
Buku ini memang tergolong ‘tidak tebal’, bahasanya enak, mudah dicerna. Mungkin pada awalnya akan terkesan membosankan, tapi setelah dibaca lebih lanjut, banyak pelajaran yang bisa kita ambil. Hal-hal yang mungkin tidak terlalu kita perhatikan ternyata bisa jadi menjadi hal penting dalam hidup kita.
fps.04.12.22
--------------------oOo--------------------
Judul : Brownies
Penulis : Fira Basuki
Jumlah hal. : 240
Penerbit : Gagas Media (2004)
=============================================================
Fira Basuki memang termasuk penulis yang produktif. Setiap tahun, Ibu cantik ini hampir selalu menerbitkan buku-buku terbarunya. Kali ini, Fira Basuki mencoba menulis buku dengan mengadaptasi skenario film ‘Brownies’.
‘Brownies’ bercerita tentang seorang perempuan muda, cantik, lajang, aktif dengan karir yang cemerlang. Mel, namanya, benar-benar menggambarkan sosok perempuan kosmopolitan seperti yang sering digambarkan di majalah-majalah wanita. Pekerjaannya di biro iklan sedang berada di posisi yang sangat bagus, masa depannya cerah, ditambah lagi Mel mempunyai seorang tunangan yang ganteng, romantis dan sangat memanjakan dirinya. Coba…. apa lagi yang kurang dari diri Mel? Sosoknya bisa membuat banyak perempuan iri.
Tapi, semua jadi berubah, ketika Mel ingin memberi surprise pada sang kekasih, Joe, malah Mel sendiri yang mendapat “surprise” yang membuatnya ‘down’. Ternyata di balik keceriaan dan kemandiriannya, Mel adalah sosok yang labil. Patah hati membuatnya limbung dan terkadang menjadi orang yang tidak rasional.
Di tengah keadaan yang galau, muncul sosok Are, tokoh utama kedua, pemuda yang kalau dilihat dari segi penampilan berbeda 180° dibanding dengan Joe. Jika Joe, adalah pemuda yang perlente, gayanya rapi dan berkelas, tatapan mata dan rayuannya bisa membuat banyak wanita ‘meleleh’. Kalau dilihat, Joe ini benar-benar pria bertampang “playboy”. Sementara Are, berprofesi sebagai penulis, punya toko buku, penampilannya cuek, rambut gondrong, gaya makan yang cenderung ‘sembarangan’, tapi mempunyai perasaan yang sensitif.
‘Perjodohan’ secara tidak langsung yang dilakukan sahabat Mel, diam-diam membuat hati Mel dan Are bergetar. Ternyata keduanya mempunyai beberapa persamaan. Mel sedikit demi sedikit mulai membuka hatinya untuk Are. Tapi, adanya persamaan itu, ternyata tidak membuat hati Mel luluh. Dalam hatinya Mel masih sangat mengharapkan Joe yang jelas-jelas sudah menyakitinya. Mel percaya suatu saat Joe akan menyadari kesalahannya dan kembali kepadanya. Hatinya bimbang, antara menerima Are dan melupakan Joe dengan segala pesonanya, atau kembali pada Joe, dan melupakan semua perbuatan Joe yang menyakitkan? Jadi, siapa yang harus dipilih Mel?
Lalu di mana letak peranan ‘Brownies’?
‘Brownies’ sendiri menjadi benang merah dalam cerita ini. Kue ini dijadikan pelarian baik bagi Mel atau Are. Bagi Mel, membuat brownies bisa menyalurkan segala kegelisahannya. Tidak peduli di tengah malam, jika sedang gundah, Mel akan lari ke brownies. Sedangkan, bagi Are, membuat brownies adalah salah satu cara untuk menjaga kenangannya akan sang Ibu yang telah tiada. Tapi, apa yang membuat Mel selalu gagal dalam membuat brownies, meskipun sudah pakai berbagai macam resep, sementara Are bisa membuat brownies yang enakkkkkkkk… sekali?
Silahkan temukannya jawabannya di dalam buku ini.. atau sekalian nonton filmnya. Yang jelas, meskipun sudah membaca buku ini, gak akan rugi untuk nonton filmnya. Ciri khas Fira Basuki tetap tertangkap dalam buku ini. Seperti dalam hampir setiap bukunya, Fira senang memasukkan latar belakang atau sejarah, demikian juga di buku ini, Fira memasukkan sejarah ‘Brownies’ sebagai pengantar, bahkan ada beberapa resep ‘Brownies’ yang menjadi eksperimen Mel. Tapi, mungkin karena ini diadaptasi dari scenario film, kita sudah tahu siapa berperan sebagai siapa, imajinasi kita akan sang tokoh agak tidak bisa berkembang.
Mana yang lebih menarik, film atau bukunya?
…. biarkan rasa yang memilih….
fps.04.12.20
--------------------oOo--------------------
Judul : Perjalanan Mata dan Hati
Penulis : Prima Rusdi
Jumlah hal. : 150
Penerbit : Terrant Books
‘Perjalanan Mata dan Hati’ merupakan kumpulan tulisan Prima Rusdi yang pernah dimuat di majalah CosmoGirl. Prima Rusdi adalah wartawan, penulis skenario untuk film Ada Apa dengan Cinta, co-writer Eliana, Eliana.
Mungkin ada yang berpikir ini pasti kumpulan tulisan atau cerita tentang ABG (Anak Baru Gede). Memang benar pada dasarnya tulisan ini ditujukan untuk ABG, tapi jangan salah, untuk yang ‘mantan’ ABG, jika kita baca benar-benar tulisan-tulisan ini, ternyata ada hal-hal yang masih bisa diambil, yang pada dasarnya mungkin masih kita alami.
Buku ini mencoba membahas masalah yang dekat dengan para remaja, seperti masalah kegemukan, masalah kurang percaya diri, masalah komunikasi dengan orang tua, dan lain-lain. Masalah-masalah tersebut disajikan dengan bahasa yang sederhana dan dengan memberikan solusi yang ‘simple’, mudah dicerna oleh para remaja. Terkadang para remaja suka “malas” jika diceramahi panjang – lebar dan terkesan menggurui. Mereka lebih suka dengan contoh yang dekat dengan keseharian mereka. Sehingga mereka bisa menyadari dan memperbaiki sikap mereka tanpa harus merasa dipaksa.
Pada bagian akhir, yang berjudul sama dengan judul buku, kita diajak untuk tidak hanya melihat masalah yang timbul dari diri kita sendiri, tapi kita diminta untuk melihat kejadian di sekitar, mengamati dengan hati nurani.
Rasanya tidak berlebihan, jika setelah membaca buku ini, akan banyak pelajaran yang bisa kita ambil, sehingga kita bisa lebih menghargai orang lain dengan melakukan banyak hal kecil, seperti kata Prima Rusdi “… mulailah menghargai orang lain, siapa pun dia tanpa terkecuali. Sesederhana itulah inti “merdeka” yang untuk hari ini bisa diartikan sebagai saling menghargai antara manusia. Jadi, selalu gunakan mata dan hati saat bertindak dan mudah-mudahan kamu pun siap senantiasa jadi orang “merdeka.” (hal. 146).
fps. 04.12.24
--------------------oOo--------------------
Judul : Love in Prague
Penulis : Riheam
Jumlah hal. : 371
Penerbit : Terrant Books
=============================================================
Satu lagi penulis remaja yang mengambil setting cerita di luar negeri. Kali ini Riheam, setelah novel pertamanya ‘Celah Waktu’, mencoba mengajak pembacanya “berjalan-jalan” ke kota Praha, Cekoslowakia.
Novel ini bercerita tentang Yudith, seorang mahasiswi, yang hokinya bagus banget. She is a real quiz hunter. Dia selalu menang dalam setiap kuis yang diikutinya. Mulai dari merchandise, sampai jalan-jalan ke luar negeri. Sampai suatu hari, dia memenangkan kuis jalan-jalan ke Praha selama satu minggu bersama Kiandra, pemenang kuis yang lain, cowok yang satu kampus dengannya, cowok (yang kata orang) cool dan paling digila-gilai satu kampus. Tapi, pendapat cool itu tidak berlaku bagi Yudith yang sangat membencinya. Anehnya, kedua remaja ini sama-sama sebal satu sama lain, saling menjelek-jelekkan, tanpa pernah tahu, apa sih sebenarnya awal permasalahannya. Kebayang gak sih, gimana kita harus duduk bersebelahan di pesawat selama belasan jam, belum lagi harus menghabiskan waktu bersama selama satu minggu. Gengsi mereka masing-masing terkadang lebih besar dari pada niat mereka untuk ‘bermanis-manis’ selama liburan satu minggu itu.
Membayangkan keindahan kota Praha, ditambah lagi dengan dialog yang lancar, tanpa perlu kalimat yang berpanjang-panjang, membuat novel ini asyik juga dibaca untuk weekend. Cuma, ada satu sayangnya, nih… di dalam novel ini, banyak tempat-tempat pariwisata di Praha, yang ditulis dalam bahasa Ceko. Meskipun, ada terjemahan dalam bahasa Inggrisnya, akan lebih asyik lagi kalau ada cara pengejaannya/cara membacanya.
Nah, apakah, kebersamaan mereka selama satu minggu itu akan merubah pandangan mereka masing-masing? Silahkan baca novel ini untuk tahu lanjutannya…. Siapa tahu, ada yang terinspirasi jadi quiz hunter seperti Yudith. Dan ngomong-ngomong, asyik juga lho, kalo ada yang berminat untuk bikin cerita ini dalam bentuk film.
--------------------oOo--------------------
Jika ditanya hal yang paling saya sukai saat ini…. Jawaban saya adalah : “Buku”…. Saat ini hal yang paling saya gemari adalah membaca.. saya seolah berlomba dengan hati saya sendiri untuk membaca, mengumpulkan dan memperoleh buku-buku yang saya sukai dan saya inginkan.
Terinspirasi dari email-email di milis Pasar Buku yang berisi kutipan-kutipan dari ‘Bukuku, Kakiku’ (GPU, 2004). Buku ini berisikan tulisan-tulisan dari para sastrawan, budayawan tentang pengalaman mereka, kesan-kesan mereka terhadap ‘buku’. Saya jadi tertarik untuk menuliskannya, meskipun pengalaman saya mungkin belum banyak, sehingga belum layak disamakan dengan mereka. Mungkin cara mereka dengan saya untuk memperoleh buku atau pengalamannya sangat berbeda jauh. Saya jadi iri dengan mereka, karena pada jaman mereka, sepertinya banyak buku-buku bagus. Dan saya iri dengan beberapa di antara mereka yang bisa menikmati membaca buku-buku karangan Karl May, sementara saya harus bekerja keras, mengartikan pesan-pesan dalam buku Damai Di Bumi, buku pertama Karl May yang saya (coba) baca dan belum saya selesaikan.
Pernahkah ada yang membayangkan, bahwa pegunungan tempat Smurf tinggal benar adanya? Atau ingin sekali berkunjung ke desa Galia, bertemu Asterix? Sampai saat ini, cerita komik favorit saya, adalah Smurf dan Asterix. Di awal perkenalan saya dengan Smurf, saya kerap membayangkan bahwa di suatu belahan dunia, entah di mana, makhluk berwarna biru setinggi 3 buah apel itu, tinggal di lereng gunung, di dalam rumah berbentuk jamur. Atau, membayangkan Desa Galia yang ramai, dengan keributan-keributan yang menyenangkan dan lucu antara Asterix, Obelix dengan tentara Romawi.
Dari kecil, meskipun tidak dipaksakan, orang tua saya kerap memberikan buku-buku bacaan kepada kami, anak-anaknya. Buku yang paling saya ingat, adalah seri Si Tini. Saya suka buku itu, karena ceritanya yang ringan, disertai dengan gambar ilustrasi yang bagus.
Buku-buku Enid Blyton, seperti Seri Malory Towers, St. Claire dan tentunya Lima Sekawan, juga berhasil membuat saya berimajinasi, membayangkan kehidupan sekolah di asrama yang penuh petualangan. Sering saya dan adik-adik saya bermain kemah-kemahan, meniru cerita petualangan Lima Sekawan.
Kebiasaan saya membaca mungkin agak terhenti waktu saya duduk di bangku SMP sampai SMA. Mungkin karena pelajaran yang semakin sulit, atau mungkin juga banyak hal-hal lain yang lebih menarik buat saya dibanding membaca. Pada waktu itu saya lebih suka mendengarkan musik, waktu itu Metallica, Guns ‘n Roses sedang naik daun. Saya lebih banyak menghabiskan uang saku saya untuk membeli kaset dibanding buku cerita.
Hobi membaca saya mulai muncul lagi di tahun kedua atau ketiga waktu saya kuliah. Mulai ada keinginan untuk membaca novel-novel. Tapi, saya masih membatasi diri membaca novel-novel terjemahan yang ‘nge-pop’, seperti Sidney Sheldon, John Grisham, Danielle Steel atau Michael Crichton. Waktu itu, di benak saya, mungkin ‘trauma’ dengan pelajaran Bahasa Indonesia jaman-jaman sekolah, novel karangan penulis Indonesia, terkesan ‘berat’, rasanya ‘sastra sekali.’
Ketika saya mulai bosan dengan novel terjemahan, saya mulai melirik buku-buku dari penulis Indonesia. Novel Indonesia yang pertama saya baca, mungkin kalau tidak salah, seri Pertama dari Tetralogi Pulau Buru, yaitu Bumi Manusia, karangan Pramoedya Ananta Toer. Saya pikir tadinya saya akan bosan membaca buku sastra seperti itu, yang saya pikir pastilah isinya ‘berat’… ternyata saya cukup menikmati buku PAT tersebut. Kala itu saya tidak tahu kalau buku-buku PAT sempat dilarang oleh pemerintah. Setelah membaca Bumi Manusia, saya sempet membeli beberapa buku PAT lainnya. Sayang, sampai sekarang saya belom kesampaian untuk mengumpulkan seluruh buku dari seri Tetralogi Pulau Buru. Ketika itu, ada salah satu teman kantor saya yang berpikir bahwa PAT adalah penulis favorit saya, sehingga waktu saya berulang tahun, dia menghadiahkan buku “Nyanyian Bisu Seorang Bisu I”, lengkap dengan ucapan ulang tahun dan tanda tangan dari PAT!!! Sampai saat ini, saya tidak tahu bagaimana teman saya itu bisa memperoleh tanda tangan PAT. Itu adalah buku pertama yang bertanda tangan penulisnya yang saya miliki.
Milis pasarbuku memberi saya pengetahuan yang lebih luas tentang “perbukuan”. Selain informasi tentang buku-buku terbaru, saya mulai mengenal penulis-penulis dunia lainnya, bukan hanya dari kategori yang ‘ngepop’ seperti yang saya katakan di awal, tapi penulis-penulis besar seperti Leo Tolstoy, Karl May, lalu penulis-penulis Indonesia, seperti Seno Gumira Ajidarma, Sapardi Djoko Damono, Remy Sylado, yang mungkin dulu tulisan-tulisan mereka saya anggap ‘berat’ dan membuat saya tidak pernah melirik buku-buku mereka.
Melalui milis ini juga, saya punya kegemaran baru, yaitu mengoleksi buku yang bertanda tangan penulisnya. Rasanya ada kepuasan tersendiri membaca buku yang bertanda tangan penulisnya, apalagi kalau itu adalah penulis favorit saya.
Buku favorit saya adalah ‘Emak’ karangan Daoed Joesoef. Pertama kali saya membaca nukilannya di majalah Readers’ Digest Indonesia, saya langsung bertekad untuk memilikinya. Hal yang membuat saya menyukai buku ini, karena cara penyajiannya yang ringan dan lucu, yang membuat saya semakin menghargai dan mencintai ibu saya.
Saat ini saya sedang mencoba untuk membuat tulisan, meskipun mungkin hanya sajak atau puisi pendek, yang muncul begitu saja di saat hati saya sedang gundah atau sedih. Karena herannya, kala hati saya sedang riang gembira, atau sedang berada dalam mood yang enak, saya tidak bisa mengungkapkannya atau menuangkannya ke dalam bentuk tulisan. Memang benar, jika kita sedang sedih, kita cenderung jadi lebih sensitive dan jadi lebih mudah untuk menyalurkan perasaan kita. Keinginan saya untuk mencoba menulis mungkin sedikit banyak dipengaruhi ketika saya membaca buku ‘Biola Tak Berdawai’ dan ‘Negeri Senja’, keduanya karangan Seno Gumira Ajidarma. Mungkin kata-kata di dalam novelnya tidak terlalu mudah untuk dicerna, tapi kadang terdapat kalimat-kalimat indah dan puitis. Tapi, sayang, saya belom bisa untuk membuat cerita yang lebih panjang untuk dijadikan cerita pendek. Rasanya susah sekali untuk mencari ide yang pas, kadang idenya sudah kira-kira ketemu, cuma bingung bagaimana cara menuliskan, menggambarkan ide tersebut agar malah tidak menjadi ‘basi’.
Dari buku, saya tidak hanya memiliki impian-impian, tapi juga bisa mempunyai teman-teman baru yang memiliki kegemaran yang sama dengan saya. Kami bisa berbagi cerita, kesan dari buku-buku yang kami baca. Kami bisa saling memberikan usul atau info tentang buku-buku yang kami baca. Bahkan terkadang dengan saling bercerita seperti itu, kami juga jadi terpengaruh untuk membaca buku yang sama. Saya jadi punya teman kolektor buku, dan dari beliau saya tahu buku-buku yang bagus. Dari beliau pula, saya jadi terinsipirasi untuk membuat daftar buku-buku yang saya punya. Karena membuat daftar ini, saya jadi ingat kembali buku-buku lama saya yang selama ini hanya tersimpan di lemari.
Memang sampai saat ini saya belum menemukan buku yang benar-benar membuat saya berpikir, membuat sesuatu yang berubah dalam diri saya, yang benar-benar berkesan di dalam hati saya. Maka dari itu saya akan terus membaca, sampai saya menemukan buku yang benar-benar memberi arti dalam hidup saya. Karena masih banyak sekali buku yang ingin saya baca, dan mungkin suatu saat bisa saya ceritakan kembali ke orang-orang lain.
--------------------oOo--------------------
Aku ingin sekali menulis… Tapi rasanya banyak hal yang membuat keinginan itu sering kali tertunda atau tergantikan dengan hal lain. Pertama, aku merasa aku tidak punya pengalaman hidup yang menarik untuk kuceritakan atau kubagi kepada orang banyak. Aku juga merasa pengetahuanku belum banyak. Aku tidak mempunyai bahan apa pun untuk kujadikan sebagai ide tulisanku.
Lalu aku berpikir, “Kenapa aku tidak menuliskan kisahku sehari-hari saja?” Aku merasa meskipun aku “tidak” mempunyai pengalaman menarik, aku tetap bisa menulis hal kecil yang menjadi “perhatianku” hari itu. Tapi, salah satu kelemahanku, aku mungkin termasuk orang yang introvert, sering merasa tidak enak, atau selalu merasa ketakutan lebih dulu. Begitu muncul keinginan untuk menulis, detik berikutnya yang ada di pikiranku adalah ketakutan akan perkataan orang lain. Aku berpikir, orang pasti akan berkata, “Siapa loe? Berani-beraninya nulis pengalaman hidup. Artis bukan, presiden bukan!”
Aku mungkin bukan siapa-siapa. Aku mungkin tidak istimewa di mata orang banyak. Aku hanya manusia biasa, dengan segala keterbatasan dan kelemahan. Karena sifatku yang sering tidak percaya diri, aku selalu merasa aku ini tidak punya kelebihan apa-apa. Tapi, apa salahnya jika aku bercerita? Ada yang salah jika aku menuliskan kisahku?
Ada beberapa hal atau orang yang menjadi ‘insipirasi’ atau mendorong aku untuk akhirnya menulis. Pertama, aku pernah membaca pengalaman seseorang di milis pasarbuku. Beliau sering bercerita kalau beliau diajak oleh salah satu majalah untuk meresensi buku, lalu salah satu tulisannya dimuat di majalah pecinta buku. Tulisan beliau memberi aku masukan dan dorongan untuk mulai menulis. Kedua, aku terinspirasi dari tulisan-tulisan Pak Sobron Aidit di beberapa milis yang aku ikuti. Tulisan beliau sederhana, berisi pengamatan beliau sehari-hari, mulai dari cerita tentang cucunya, resep favorit, terkadang terselip isu-isu politik. Ada juga tulisan tentang masa kecil beliau. Dan tulisan-tulisan itu selalu muncul setiap hari. Tulisan sederhana ini yang membuat aku berpikir, aku bisa menulis dari apa yang aku lihat, aku rasakan sehari-hari, hal-hal sederhana, yang mungkin tidak terlihat oleh orang lain, hal-hal yang mungkin bisa kudapati dari hasil mengamati kehidupan di sekitarku. Ketiga, sebuah buku karya Prima Rusdi, berjudul “Perjalanan Mata dan Hati” (Terrantbooks, 2004) juga memberiku gambaran, bahwa menulis tidak harus berdasarkan pengalaman yang luar biasanya banyaknya, tidak harus dari hasil berjalan-jalan keliling dunia, tapi cukup dengan melihat kejadian di sekeliling, mencernanya, lalu membaginya kepada yang lain.
Aku rasa, aku tidak perlu menjadi seseorang yang dikenal untuk bisa menulis. Aku tidak harus menjadi seorang artis atau orang terkenal agar tulisanku dibaca. Tapi, aku menulis untuk mencurahkan apa yang ada di hatiku. Aku menulis untuk diriku sendiri, aku ingin membaginya dengan yang lain. Hanya tulisan-tulisan sederhana yang mungkin setelah dibaca isinya sama dengan apa yang dialami orang lain, atau sebuah tulisan yang isinya terlalu biasa sampai tidak menarik untuk dibaca, tapi buatku menghasilkan suatu tulisan adalah kepuasan bagiku. Selama masih ada yang mau mengkritik dan memberi masukan, aku tidak akan berhenti belajar menulis.
fps. 04.12.14
--------------------oOo--------------------
Hai All....
Ini pertama kalinya aku nulis untuk bisa dibaca umum. Selama ini aku cuma nulis untuk diriku sendiri karena aku mungkin terlalu malu untuk bisa sharing sama yang lain... alias gak PD...
nah... tapi...lama2 aku pikir... cuek aja deh... dan akhirnya aku memberanikan diri untuk bikin blog, dan "mencemplung"kan tulisan dan semoga ada yang tertarik untuk membacanya.
Tulisan-tulisan yang ada di sini, hanya tulisan berdasarkan pengalaman pribadiku.. aku gak akan asal ngarang.. karena ntar malah jadi "garing".... aku cuma nulis atas apa yang aku lihat, aku rasakan dan aku alami sendiri....
And... just enjoy it....
f3R1n@
--------------------oOo--------------------